MENGENAL RITUS TRIDENTINA
(BAGIAN I)
LATAR BELAKANG
Ritus
Tridentina adalah salah satu ritus dalam tradisi gereja Katolik Roma. Nama
Tridentina diambil langsung dari nama Konsili tahun 1545-63 yang memuat ajaran
tentang Misa Kudus, yaitu Konsili Trente.
Sudah
sejak lama, gereja Universal berusaha untuk mendefinitifkan bentuk Misa selama
berabad-abad. Namun inti dari Misa adalah menghadirkan kembali kenangan Salib
akan penebusan umat manusia, melalui ketaatan Yesus sang Anak Domba Paskah
kepada Bapa-Nya. Konsili Trente secara khusus membicarakan semacam “Apologetik”
tentang kurban Misa. Gereja mengambil sikap yang cukup hati-hati dalam
mengambil keputusan dan mendefinitifkan ajaran tentang Misa itu sendiri.
Sejak
reformasi yang dilakukan oleh Martin Luther tahun 1556, oleh Yohanes Calvin,
dan yang lebih awal, dari kerajaan Inggris, Raja Henry VIII Tudor.
Mengakibatkan berubahnya ajaran tentang Misa sebagai kenangan akan kurban salib
Kristus. Para reformis menganggap, kurban yang menghadirkan kembali Salib Kristus,
adalah suatu penghinaan kepada Kristus Sang Tersalib. Mengapa? Karena para
reformis dengan pemahaman baru mereka, mengatakan bahwa misa seharusnya hanya boleh
sebagai lambang, bukan sebagai sarana hadirnya Yesus. Mereka menganggap bahwa
kalangan Klerikal telah mengalihkan inti misa, dari Kristus yang tersalib
kepada kurban salib. Kristus hanya mati sekali untuk selamanya, sehingga Ia
tidak perlu untuk kembali mengurbankan Diri lagi di atas meja Altar.
Tuduhan
kaum reformis, bahwa misa telah melecehkan misteri kurban sekali selamanya itu.
Namun dalam konsili inilah, ajaran tentang kurban Misa ditegaskan. Bahwa Misa
bukan untuk menggantikan kurban Kristus yang sekali untuk selama-lamanya,
tetapi sebagai tanda persekutuan dengan Yesus dalam Tubuh dan Darah-Nya.
Perbedaan pemahaman ini berlanjut, hingga akhirnya konsili Trente dengan tegas
menyatakan bahwa Misa harus dirayakan dalam bahasa Latin. Terjemahan dalam
bentuk apapun adalah pelanggaran yang berat. Alasannya adalah untuk
meminimalisir segala bentuk penyimpangan, bagi gereja, penyimpangan dalam
Liturgi tidak dapat ditolerir dalam bentuk apa pun.
Maka
menurut norma umum dari ritus Tridentina adalah penggunakan bahasa Latin dalam
perayaannya. Keadaan ini terus berlanjut hingga pra-Konsili Vatikan II tahun
1962. Paus Yohanes XXIII memberikan keringanan untuk menggunakan bahasa pribumi
dalam misa, dengan tetap memperhatikan norma-norma yang ada.
Misa
dirayakan dengan cara yang khas, dimana Imam selebran merayakan misa menghadap
tabernakel, atau ad orientem dimana altar dibangun melekat dengan
dinding, dan menghadap ke arah timur.
Letak
altar dan panti umat cukup jauh, dan ada semacam pagar yang membatasi tempat
umat dan imam berada, biasa disebut altar reil. Liturgi dilaksanakan
dengan cara yang ketat. Dimana imam harus memperhatikan segala aspek yang ada.
Mulai dari pakaian, dekorasi altar, cara berjalan, cara mengatupkan tangan,
cara membuka tangan, cara berlutut, semuanya diperhatikan dengan saksama.
Misa
Tridentina tidak seperti misa Paulus VI (atau Novus Ordo). Apa yang
membedakannya? Selain dari bentuk altar dan beberapa ritus, misa Tridentina
dibagi menjadi dua bagian, yaitu Misa Katekumenat, mulai dari perarakan masuk
hingga Homili (syahadat), dan Misa Orang Beriman, Mulai dari antifon persembahan
(offertorium) hingga bacaan Injil terakhir.
Apa
yang dimaksud dengan misa Katekumenat? Bagian ini adalah bagian awal (intiationem)
atau pengenalan. Bagian puncak adalah Homili yang bagi para katekumen, adalah
suatu pelajaran agama. Setelah homili, para katekumen dibubarkan. (walau dalam
ritus latin pemburan ini tidak secara explisit terlihat dibandingkan dengan
ritus timur, bdk. Liturgi Ilahi St. Yohanes Krisostomus, litani katekumen dan
pada bagian departed).
Misa
Orang Beriman, merupakan bagian yang hanya diikuti oleh mereka yang sudah
dibaptis, dan telah menerima komuni pertama. Lebih utama dalam keadaan rahmat
atau bebas dari dosa berat.
Pada
bagian pertama ini, kita akan mengenal lebih dekat bagian-bagian dalam ritus
Tridentina mulai dari ritus awal (aspersionem).
ASPERSIONEM
Pada
misa hari Minggu dan hari raya, biasanya imam akan memerciki umat dengan air
suci, pada masa diluar Paskah digunakan antifon Asperges me, dan dalam
masa Paskah Vidi Aquam.
V : Aspérges me.
R: Dómine, hyssópo, et mundábor: lavábis
me, et super nivem dealbábor. Miserére mei, Deus, secúndum magnam misericórdiam
tuam. Gloria Patri, et Filio, et Spiritui Sancto. Sicut erat in principio et
nunc et semper et in saecula saeculorum. Amen.
V : Vidi aquam.
R : Egrediéntem de templo, a látere dextro,
allelúia: et omnes ad quos pervénit aqua ista salvi facti sunt et dicent:
allelúia, allelúia. Ps. 117 (118), 1. Confitémini Dómino, quóniam bonus:
quó-niam in sǽculum misericórdia eius. Glória Patri, et Fílio, et Spirítui
Sancto. Sicut erat in princípio, et nunc, et semper, et in sæcula sæculórum.
Amen.
Setelah
imam memerciki altar, pelayan altar dan umat dengan air suci, imam kembali ke
tengah kaki altar dan berdoa:
V : Osténde nobis, Dómine, misericórdiam tuam. (T.P. Allelúja.)
R : Et salutáre tuum da nobis. (T.P. Allelúja.)
V : Dómine, exáudi orationem meam.
R : Et clamor meus ad te véniat.
V : Dóminus vobíscum.
R : Et cum spíritu tuo.
V : Orémus.
Exáudi nos, Dómine sancte, Pater omnípotens, ætérne Deus: et mittere
dignéris sanctum Angelum tuum de cœlis; qui custódiat, fóveat, prótegat,
vísitet atque deféndat omnes habitántes in hoc habitáculo. Per Christum,
Dóminum nostrum.
R : Amen.
Biasanya
jika misa dimulai dengan ritus pemercikan, imam mengenakan cope atau
pluviale. Jika demikian maka imam kemudian pergi ke tempat dimana terletak
kasula dan manipel, disana ia akan mengenakan manipel di tangan kiri dan juga
kasula.