MONOTEISME
Monoteisme (berasal dari kata Yunani monon yang berarti tunggal dan Theos
yang berarti Tuhan) adalah kepercayaan bahwa Tuhan adalah satu/tunggal dan
berkuasa penuh atas segala sesuatu.
Terdapat berbagai bentuk kepercayaan
monoteis, termasuk:
I.
Teisme, istilah yang mengacu kepada keyakinan akan tuhan yang 'pribadi', artinya
satu tuhan dengan kepribadian yang khas, dan bukan sekadar suatu kekuatan ilahi
saja.
II.
Deisme adalah bentuk monoteisme yang meyakini bahwa tuhan itu ada. Namun demikian,
seorang deis menolak gagasan bahwa tuhan ini ikut campur di dalam dunia. Jadi,
deisme menolak wahyu yang khusus. Sifat tuhan ini hanya dapat dikenal melalui
nalar dan pengamatan terhadap alam. Karena itu, seorang deis menolak hal-hal
yang ajaib dan klaim bahwa suatu agama atau kitab suci memiliki pengenalan akan
tuhan.
III.
Teisme monistik adalah suatu bentuk monoteisme yang ada dalam Hindu. Teisme seperti ini
berbeda dengan agama-agama Semit karena ia mencakup panenteisme, monisme, dan
pada saat yang sama juga mencakup konsep tentang Tuhan yang pribadi sebagai
Yang Tertinggi, Mahakuasa, dan universal. Tipe-tipe monoteisme yang lainnya
adalah monisme bersyarat, aliran Ramanuja atau Vishishtadvaita, yang mengakui
bahwa alam adalah bagian dari Tuhan, atau Narayana, suatu bentuk panenteisme,
namun di dalam Yang Mahatinggi ini ada pluralitas jiwa dan Dvaita, yang berbeda
dalam arti bahwa ia bersifat dualistik, karena tuhan itu terpisah dan tidak bersifat
panenteistik.
IV.
Panteisme berpendapat bahwa alam sendiri itulah Tuhan. Pemikiran ini menyangkal
kehadiran Yang Mahatinggi yang transenden dan yang bukan merupakan bagian dari
alam. Tergantung akan pemahamannya, pandangan ini dapat dibandingkan sepadan
dengan ateisme, deisme atau teisme.
V.
Panenteism adalah suatu bentuk teisme yang berkeyakinan bahwa alam adalah bagian dari
tuhan, tapi tuhan tidaklah identik dengan alam. Pandangan ini diikuti oleh
teologi proses dan juga Hindu. Menurut Hindu, alam adalah bagian dari Tuhan,
tetapi Tuhan tidak sama dengan alam melainkan mentransendensikannya. Akan tetapi, berbeda dengan teologi proses, Tuhan dalam Hinduisme itu
Mahakuasa. Panenteisme dipahami sebagai "Tuhan ada di dalam alam
sebagaimana jiwa berada di dalam tubuh". Dengan penjelasan yang sama,
panenteisme juga disebut teisme monistik di dalam Hinduisme. Namun karena
teologi proses juga tercakup di dalam definisi yang luas dari panenteisme dan
tidak menerima kehadiran Yang Mahatinggi dan Yang Mahakuasa, pandangan Hindu
dapat disebut sebagai teisme yang monistik.
VI.
Monoteisme
substansi, ditemukan misalnya dalam sejumlah agama pribumi Afrika, yang berpendapat
bahwa tuhan yang banyak itu adalah perwujudan dari substansi yang satu yang ada
di belakangnya, dan bahwa substansi yang ada di belakangnya itulah Allah. Pandangan ini banyak miripnya dengan pandangan Tritunggal Kristen tentang
tiga pribadi yang mempunyai hakikat yang sama.
Sebagai perbandingan, lihat Politeisme, yang berpendapat bahwa ada
banyak tuhan. Dualisme mengajarkan bahwa ada dua kekuatan ilahi atau
prinsip-prinsip kekal yang independen, yang satu adalah Kebaikan, dan yang
lainnya adalah kuasa jahat, seperti yang diajarkan oleh Zoroastrianisme kuno
(Zoroastrianisme modern sepenuhnya bersifat monoteistik). Pandangan ini lebih
lengkap diajarkan dalam aliran-aliran yang muncul belakangan dari sistem
Gonistik, seperti misalnya Manikeanisme.
Kebanyakan kaum monoteis akan mengatakan bahwa berdasarkan definisinya,
monoteisme pasti berlawanan dengan politeisme. Namun demikian, para pemeluk di
lingkungan tradisi politeistik seringkali berperilaku seperti kaum monoteis.
Ini disebabkan karena keyakinan akan tuhan yang banyak itu tidak berarti bahwa
mereka menyembah banyak tuhan. Secara historis, banyak pemeluk politeis percaya
akan keberadaan banyak tuhan, tetapi mereka hanya menyembah satu saja, yang
dianggap oleh si pemeluk itu sebagai Tuhan yang Mahatinggi. Praktek ini
disebut henoteisme.
Ada pula teologi-teologi monoteistik di dalam Hinduisme yang mengajarkan
bahwa rupa-rupa Tuhan yang banyak itu, yaitu Wisnu, Syiwa, atau Dewi,
semata-mata mewakili aspek-aspek dari kekuatan Ilahi yang ada di belakangnya
atau Brahman (lih. artikel tentang Nirguna Brahman dan Saguna Brahman).
Sebagian orang mengklaim bahwa Hinduisme tidak pernah mengajarkan politeisme
dan klaim seperti itu bisa dianggap benar sebagai salah satu pandangan
Hinduisme, yaitu pandangan Smarta yang adalah sebuah pandangan monoteistik yang
inklusif dari monoteisme, seperti yang akan dibahas kelak. Pandangan Smarta ini mendominasi pandangan Hinduisme di Barat dan telah
membingungkan semua orang Hindu karena mereka dianggap politeistik. Aliran
Smarta ini adalah satu-satunya cabang dalam Hinduisme yang sepenuhnya mengikuti
pandangan ini. Swami Vivekananda, seorang pengikut Ramakrishna, serta banyak
tokoh lainnya yang memperkenalkan agama Hindu ke Barat, semuanya adalah
penganut aliran Smarta. Hanya seorang pemeluk Smarta yang tidak mempunyai
masalah untuk menyembah Syiwa atau Wisnu bersama-sama karena ia memahaminya
sebagai aspek-aspek yang berbeda dari Tuhan yang semuanya membawa kepada Tuhan
yang sama. Jadi, menurut teologi Smarta, Tuhan dapat memiliki banyak sekali
aspek, dan dengan demikian, begitu keyakinan ini, mereka percaya bahwa Wisnu
dan Syiwa sesungguhnya adalah Tuhan yang satu dan sama. Para teolog Smarta
telah banyak mengutip referensi untuk mendukung pandangan ini. Misalnya, mereka
menafsirkan ayat-ayat dalam Sri Rudram, mantra yang paling suci dalam Syiwaisme,
dan Wisnu sahasranama, salah astu doa yang paling suci dalam Wisnuisme, untuk
membuktikan keyakinan ini. Sebaliknya, seorang pemeluk Wisnuisme menganggap
Wisnu sebagai Tuhan satu-satunya yang sejati, yang layak disembah dan
menganggap penyembahan terhadap bentuk-bentuk yang lainnya lebih rendah atau
sama sekali keliru.
Monoteisme dapat dibagi menjadi berbagai bentuk berdasarkan
sikapnya terhadap politeisme: monoteisme inklusif menganggap bahwa semua tuhan
atau dewa dalam politeisme semata-mata hanyalah nama-nama yang lain dari Tuhan
monoteistik yang sama; Smartaisme, sebuah denominasi Hindu, mengikuti keyakinan
ini dan percaya bahwa Tuhan itu hanya satu namun mempunyai berbagai aspek dan
dapat disapa dengan nama yang berbeda-beda. Keyakinan ini mendominasi pandangan
Hinduisme di barat. Sebaliknya, monoteisme eksklusif mengklaim bahwa semua
tuhan ini adalah salah dan berbeda dari Tuhan yang monoteistik. Mereka itu
hanyalah rekaan kuasa jahat, atau semata-mata suatu kekeliruan, sebagaimana
yang dipahami oleh Wisnuisme, suatu aliran dalam Hinduisme, terhadap
penyembahan apapun selain kepada Wisnu. Monoteisme eksklusif adalah ajaran yang
terkenal dalam ajaran agama-agama Abrahamik.
Monoteisme diduga berasal dari ibadah kepada tuhan yang tunggal di dalam suatu
panteon dan penghapusan tuhan-tuhan yang lain, seperti dalam
kasus penyembahan Aten dalam pemerintahan firaun Mesir Akhenaten, di bawah
pengaruh istrinya yang berasal dari Timur, Nefertiti. Ikonoklasme pada masa
pemerintahan firaun ini dianggap sebagai asal-usul utama penghancuran
berhala-berhala dalam tradisi Abrahamik, yang didasarkan pada keyakinan bahwa
tidak ada Tuhan lain di luar tuhan yang mereka akui. Dengan demikian,
sebetulnya di sini tergantung pengakuan dualistik dan diam-diam tentang keberadaan
tuhan-tuhan yang lain, namun hanya sebagai lawan yang harus dihancurkan karena
mereka mengalihkan perhatian dari tuhan utama mereka.
Monoteisme sebagaimana yang diwarisi oleh bangsa Israel dalam pengalaman
Exodus di bawah pimpinan Musa, dianggap, oleh mereka yang berpendapat bahwa
bangsa Israel ini adalah orang-orang Hiksos, sebagai pewaris
kebijakan-kebijakan keagamaan Akhenaten, karena sebelumnya orang-orang Yahudi
ini adalah politeis seperti halnya orang-orang Mesir. Masalah-masalah lain
seperti Hak ilahi Raja juga muncul dari hukum-hukum firaun tentang penguasa
sebagai demigod atau wakil-wakil dari Pencipta di muka bumi. Kuburan-kuburan
yang besar di piramida Mesir yang mengikuti observasi astronomis, menggambarkan
hubungan antara firaun dengan langit atau sorga dan karena itu kemudian diambil
oleh para penguasa Krisen yang mengklaim bahwa mereka diberikan kekuasaan
langsung oleh Allah.
Zoroastrianisme dianggap oleh sebagian pakar sebagai
bentuk kepercayaan monoteistik yang paling awal yang berevolusi dalam kehidupan
manusia, meskipun sebagian turunannya tidak sepenuhnya demikian, karena Tuhan
yang utama dalam turunan-turunan seperti Zurvanisme bukanlah pencipta
satu-satunya. Ada teori yang menyatakan bahwa Yudaisme dipengaruhi oleh
Zoroastrianisme, terutama pada masa pembuangan di Babel, dan setelah itu banyak
bagian dari Perjanjian Lama yang ditulis dan disunting. Yudaisme yang lebih awal
diasumsikan hanya mengakui bahwa YHVH adalah allah suku mereka (kemungkinan
terkait dengan Yaw) yang merupakan dewa pelindung para keturunan Abraham, atau
bahwa ada banyak allah tetapi bahwa hanya allah mereka sajalah yang paling
kuat. Pandangan ini tidak sesuai dengan pemahaman diri agama-agama Abrahamik -
Yudaisme, Kristen, Islam – yang secara tradisional menegaskan bahwa monoteisme
eksklusif adalah agama asli dari seluruh umat manusia, sementara allah-allah
lainnya dipandang sebagai berhala dan makhluk-makhluk yang keliru disembah
sebagai tuhan.
Beberapa profesor arkeologi membuat klaim yang controversial bahwa banyak
cerita di dalam Kitab Suci Ibrani, termasuk catatan-catatan penting mengenai
Musa, Salomo, dan lain-lainnya, sesungguhnya mula-mula dikembangkan oleh para
penulis yang dipekerjakan oleh Raja Yosia (abad ke-7 SM) untuk
merasionalisasikan keyakinan monoteistik terhadap YHVH. Teori ini mencatat
bahwa negara-negara tetangga, seperti misalnya Mesir, Persia dll., meskipun
menyimpan catatan-catatan tertulis, tidak mempunyai tulisan-tulisan mengenai
cerita-cerita Alkitab atau tokoh-tokoh utamanya sebelum 650 SM. Klaim-klaim seperti itu diuraikan
secara terinci dalam buku Who Were the Early Israelites? oleh William G.
Dever, William B. Eerdmans Publishing Co., Grand Rapids, MI (2003).
Buku lainnya yang serupa adalah The Bible Unearthed oleh Neil A. Silberman
dan rekan-rekannya, Simon dan Schuster, New York (2001).
Meskipun orang Kristen percaya akan satu Allah, mereka mengakui bahwa Allah
ini, pada kenyataannya, mempunyai tiga pribadi: Allah Bapa, Allah Anak, dan
Allah Roh Kudus (bersama-sama disebut Tritunggal), Orang Kristen
menekankan bahwa agama mereka bersifat monoteis. Biasanya teologi Kristen
mengaku bahwa ketiga pribadi ini tidaklah independen melainkan 'homoousios',
artinya bersama-sama mereka mempunyai hakikat atau substansi ilahi yang sama. Namun, sebagian orang mengatakan bahwa agama Kristen adalah suatu bentuk
dari Triteisme. Lebih jauh, sebagian sekte minoritas dari agama Kristen, seperti
misalnya Saksi Yehuwa, menyangkal gagasan tentang Tritunggal ,
sementara yang lainnya, seperti sekte Mormonisme, menyembah hanya
satu Allah, namun terbuka terhadap keberadaan yang lain-lainnya. Rastafarian,
seperti banyak orang Kristen lainnya, percaya bahwa Allah adalah esa dan juga
Tritunggal, dalam kasus mereka, Allah adalah Haile Selassie. Kaum Rasta
memandang diri mereka sendiri, dan kemungkinan juga semua orang, sebagai unsur
Roh Kudus dari Tritunggal, dengan Haile Selassie sebagai penjelmaan dari Allah
Bapa dan Allah Anak. Haile Selassie juga dipandang sebagai kepala, dan kaum
Rastafarian sebagai tubuh, dari Allah.
Monoteisme dalam Islam
Dalam Al-Qur'an, Surah Al Baqarah 2:115
ولله المشرق
والمغرب فاينما تولوا فثم وجه الله ان الله وسع عليم
Terjemahan : Dan kepunyaan Allah-lah
Timur dan Barat, maka ke manapun kamu menghadap di situlah wajah Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.
Dari pernyataan di atas, kita dapat melihat bahwa seperti Yudaisme dan
Kekristenan--penafsiran Al Qur'an tentang Allah adalah Tuhan yang kehadiran
rohaninya dialami di dalam seluruh jagad raya. Islam menjelaskan monoteisme
dalam cara yang sederhana. Terjemahan monoteisme dalam bahasa Arab adalah
(Tauhid). Tauhīd berarti satu (berasal dari kata wahid/ahad). Kata ini
menyiratkan penyatuan, kesatuan atau mempertahankan sesuatu agar tetap satu.
Syahadat (الشهادة), adalah pengakuan atau pernyataan percaya akan keesaan
Allah dan bahwa Muhammad adalah nabinya. "Kalimat tauhīd" yang
berbunyi: "Lailahailallah" yang berarti bahwa satu-satunya tuhan
(ilah) yang pantas untuk diabdi, ditaati, disembah, diikuti ajarannya hanyalah
Allah.
Ajaran Tauhid menurut Islam dibawa oleh seluruh Nabi/Rasul tak terkecuali.
Tidak semua Nabi dikisahkan dalam Al Quran. Hanya saja setelah Kenabian
Muhammad tidak akan ada Nabi lagi. Nabi-nabi sebelum Muhammad diutus untuk
umatnya masing-masing, sedangkan Muhammad sebagai penutup para Nabi diutus
untuk seluruh umat manusia hingga akhir zaman.
Pengucapan syahadat dalam Islam adalah salah satu dari kelima Rukun Islam
yang diakui oleh Muslim . Bila diucapkan dengan suara keras dan dengan
bersungguh-sungguh, maka orang yang mengucapkannya dianggap telah menyatakan
dirinya sebagai pemeluk agama Islam. Salat di dalam Islam, misalnya, mencakup pernyataan
kesaksian tentang monoteisme. Islam menyatakan "Keesaan Allah"
sebagai ajaran utama mereka. Lebih jauh, Islam menganggap ajaran Tritunggal
yang dipahami Islam sebagaimana yang ada pada agama Kristen sebagai
penyimpangan terhadap ajaran (Yesus/Isa) yang ada di dalam ajaran Islam
tersebut.
Kebenaran seseorang dalam Islam diukur dari "penyerahan dirinya secara
total kepada ajaran Allah". Penyerahan diri yang dimaksud adalah
menempatkan diri sebagai pelayan Tuhan maksudnya hidup karena mencari keridhaan
Allah dan tidak lagi hidup untuk kepentingannya sendiri, karena hanya dengan
demikian pemeluk Islam dianggap kaffah dalam beragama. Mereka yang mengaku diri
Islam namun dalam kehidupan mereka tidak melaksanakan ajaran-ajaran yang ada
dalam Islam, dapat disebut sebagai orang munafik. Orang munafik adalah orang
yang tidak jelas keyakinannya, orang yang di satu sisi mengakui Islam namun di
sisi lain ia tidak melaksanakan apa yang diperintahkan dalam Islam. Orang-orang yang seperti inilah yang disebut dengan orang-orang yang kafir
dengan sebenar-benarnya.
Dalam pengertian yang universal tauhīd sering juga dilambangkan dengan
angka O (nol), yang berarti suatu keadaan di mana seseorang sudah mengikhlaskan
diri sepenuhnya kepada Allah, sudah menanggalkan egonya, kepentingannya
sehingga dirinya dengan kesadaran hidup meridukan ridha dari Allah , yang ada
hanyalah Allah dan dirinya hanyalah perpanjangan tangan Allah. Jika ego telah
hilang maka inilah penyatuan dengan Yang Maha Kuasa atau Manunggaling Kawulo
Gusti yang sebenarnya hanya ada dalam agama Hindu. Ketika Syeh Siti Jenar
mengungkapkan ini di tolak oleh sebagian besar umat Islam. Karena itu simbol nol tidak ada artinya
dalam umat Islam. Nol berarti nir kehampaan dan ini padanannya adalah nirwana
atau nirguna Tuhan tak tergambarkan, namun kenyataannya Islam menggambarkan
Tuhan dengan sifat-sifat, Maha Besar, Maha Kuasa, dll.
Monoteisme dalam agama Bahá'í
Seperti dalam
agama Islam, agama Bahá'í memahami monoteisme dalam pengertian yang sederhana.
Doa wajib dalam agama Bahá'í, misalnya, mengandung pernyataan kesaksian
monoteistik yang jelas. Kedua agama ini menyatakan "Keesaan Allah"
(Tauhīd) sebagai ajaran utama mereka. Seperti juga halnya Islam, Bahá'í
menganggap ajaran Tritunggal dalam agama Kristen sebagai penyimpangan terhadap
ajaran asli Yesus yang ada dalam Bahá'í. Bahá'í memandang ajaran-ajaran
non-monoteisme yang muncul sebelumnya sebagai versi kebenaran yang kurang
dewasa.
Agama Bahá'í juga menerima keotentikan para pendiri agama yang mengajarkan
monoteisme, seperti misalnya Wisnuisme Gaudiya, yang memusatkan ibadahnya
kepada Krisna sebagai Tuhan atau bahkan apa yang kadang-kadang dipahami sebagai
ajaran-ajaran ateistik seperti misalnya Buddhisme.
Hinduisme
Dalam Hinduisme, ada beberapa pandangan yang terdiri dari monisme,
dualisme, panteisme, panenteisme, yang disebut oleh sebagian pakar sebagai
teisme monistik, serta monoteisme yang ketat. Namun mereka bukan
politeistik, seperti yang dipandang kebanyakan orang luar. Hinduisme seringkali
keliru ditafsirkan banyak orang sebagai agama politeistik. Contohnya adalah
pemeluk Hindu sendiri, contohnya kaum Smarta, yang mengikuti filsafat Advaita,
adalah monis, dan memahami berbagai manifestasi dari Tuhan yang esa atau sumber
keberadaan. Kaum monis Hindu memahami satu keesaan, dengan berbagai pribadi
Tuhan, sebagai aspek-aspek yang berbeda dari Yang Maha Tinggi dan Esa, seperti
halnya satu pancaran cahaya yang dipisah-pisahkan menjadi berbagai macam warna
oleh sebuah prisma, dan semuanya sah untuk disembah. Sebagian dari aspek-aspek
Tuhan di dalam agama Hindu mencakup Dewi, Wisnu, Ganesya, dan Syiwa. Pandangan
Smarta inilah yang mendominasi pandangan tentang Hinduisme di Barat. hal ini
disebabkan karena Swami Vivekananda, seorang pengikut Ramakrishna, di antara
banyak orang lainnya, yang memperkenalkan keyakinan Hindu ke dunia Barat,
semuanya adalah penganut Smarta. Aliran-aliran Hinduisme lainnya, seperti yang
digambarkan kelak, tidak menganut keyakinan ini secara ketat dan lebih erat
berpegang pada persepsi Barat tentang arti keyakinan yang monoteistik. Selain itu,
seperti agama-agama Yudeo-Kristen yang percaya akan malaikat, orang Hindu juga
percaya akan keberadaan yang tidak begitu kuat, seperti halnya para dewa.
Hinduisme kontemporer saat ini dibagi menjadi empat pembagian utama yaitu,
Wisnuisme, Syiwaisme, Saktiisme, dan Smartaisme. Seperti halnya Yahudi,
Kristen, dan Muslim yang mempercayai satu Tuhan namun berbeda dalam konsep
Ketuhanan, semua pengikut agama Hindu percaya pada satu Tuhan namun berbeda
dalam konsepnya. Dua bentuk utama dari perbedaan ini adalah antara dua
kepercayaan monoteistik dari Wisnuisme yang menganggap Tuhan adalah Wisnu dan
Syiwaisme, yang memahami Tuhan sebagai Syiwa. Aspek-aspek Tuhan yang lainnya
pada kenyataannya adalah aspek-aspek dari Wisnu atau Syiwa; lihat Smartaisme
untuk informasi lebih lanjut.
Hanya seorang pemeluk Smartaisme tidak akan mengalami masalah untuk
menyembah Syiwa atau Wisnu bersama-sama karena ia memandang berbagai aspek dari
Tuhan menuntun kepada satu Tuhan yang sama. Pandangan Smartalah yang
mendominasi pandangan Hinduisme di Barat. Sebaliknya, seorang pemeluk Wisnuisme
menganggap Wisnu sebagau Tuhan satu-satunya yang sejati, yang layak disembah,
sementara bentuk-bentuk lainnya adalah penampakan yang lebih rendah. Lihat
misalnya, ilustrasi tentang pandangan pemeluk Wisnuisme tentang Wisnu sebagai
Tuhan sejati yang esa di sini.
Dengan demikian, banyak pemeluk Wisnuisme, misalnya, percaya bahwa hanya
Wisnu lah yang dapat menganugerahkan tujuan terakhir manusia, moksa. Lihat
misalnya, di sini. Demikian pula, banyak pemeluk Syiwaisme juga menganut
keyakinan yang sama, seperti yang diilustrasikan pada di sini dan di sini.
Namun, bahkan pemeluk Wisnuisme, seperti orang-orang Hindu lainnya,
mempunyai toleransi terhadap keyakinan-keyakinan yang lain karena Dewa Krisna,
avatar Wisnu, mengatakannya demikian di dalam Gita. Beberapa pandangan
melukiskan pandangan toleran ini:
Krisna berkata: "Dewa atau bentuk apapun yang disembah seorang
percaya, aku akan menguatkan imannya. Namun demikian, hanya Akulah yang
mengaruniakan keinginan mereka." (Gita: 7:21-22)
Kutipan lain di dalam Gita mengatakan:
"O Arjuna, bahkan pemeluk-pemeluk yang menyembah tuhan-tuhan lain yang
lebih rendah, (mis. dewa-dewa) dengan iman, mereka pun menyembah Aku, tetapi
dalam cara yang tidak tepat, karena Akulah yang Maha Tinggi. Hanya akulah yang
menikmati semua ibadah kurban (Seva, Yajna) dan Tuhan sarwa sekalian
alam." (Gita: 9:23)
Bahkan sebuah ayat Weda melukiskan tema toleransi ini. Kitab-kitab Weda
dihormati di dalam Hinduisme, apapun juga alirannya. Misalnya, sebuah nyanyian
Rig Weda yang terkenal menyatakan bahwa: "Kebenaran hanya Satu, meskipun
para bijak mengenalnya dalam berbagai bentuk." Hal ini berlawanan dengan
keyakinan-keyakinan di dalam tradisi-tradisi agama lain, yang mewajibkan
pemeluknya mempercayai Allah hanya dalam satu aspek dan menolak sama sekali
atau meremehkan keyakinan-keyakinan lainnya.
Monoteisme dalam Taoisme
Tao adalah Yang Tertinggi yang tidak dapat didefinisikan dengan bahasa
manusia, sifatnya adalah ketiadaan (nothingness) dan mengandung tuhan-tuhan
yang lainnya. Berbeda dengan monoteisme Timur Tengah, Tao tidak mempunyai sifat-sifat
pribadi seperti kesucian, cinta kasih, dan kebenaran. Hal ini membuat Taoisme
terbebas dari masalah-masalah teodisi.